FAMILY TOXIC? BERTAHAN ATAU TINGGALKAN?

     Hey peoples..

"Alah emang lo bisa apa?" "Hidup lo bisanya nyusahin gue aja" "Lo liat tuh anak tetangga, dia bisa dapet k
erja yang bagus bla bla bla bla"
dan perkataan-perkataan lainnya yang mengguncang mental kita.

    Kalian pasti pernah ngalamin hal seperti ini di lingkungan keluarga kalian kan? Penulis pun pernah merasakan hal seperti ini. Rasanya pasti terpukul banget, kesel, sedih, kehilangan rasa kepercayaan diri, tertekan, serba salah bahkan bisa sampai depresi.

    Padahal fungsi keluarga sendiri adalah sebagai tempat bernaung dan berlindung. Namun, jika ada keluarga saling menyakiti, merusak mental psikologis bahkan tak enggan bermain fisik satu sama anggota keluarga lainnya itu sudah bisa dikatakan Family Toxic.

    Anggota keluarga yang sudah masuk ke dalam Family Toxic justru akan menhgambat perkembangan individunya. Karena didalam keluarga yang toxic terdapat ciri sebagai contoh orangtua mengontrol semua aspek kehidupan anak padahal sejatinya anak memilik hak untuk memilih jalan hidupnya seperti apa kedepannya, lalu selalu mengkritik atau menyalahkan, memberikan tuntutan, ancaman, meremehkan perasaan dan menekan emosi anggota keluarga lainnya.

    Biasanya keluarga yang toxic tidak pernah menyadari akan hal itu dan individu yang terlihat jarang sekali melihat kesalahan diri sendiri, tapi mudah untuk menemukan kesalahan orang lain.

    Nah, sekarang kita kenali tentang ciri-ciri keluarga yang toxic kuy..

    Ciri Pertama, orangtua terlalu sering mengkritik anak dengan keras.

        Banyak sekali orangtua yang sering mengkritik anak ataupun anggota keluarga lainnya dengan keras, entah dalam hal pola asuh, penampilan, persoalan sekolah, pekerjaan, sampai ke hubungan sosial. Dalih-dalih empati dan peduli mereka terkadang menyampaikan kritikan tanpa berfikir apakah kritik yang mereka berikan sesuai dengan apa yang dibutuhkan? Apakah kritik yang mereka sampaikan benar-benar sesuai dengan keinginan si anggota keluarga tersebut atau hanya sekedar keinginan seorang diri?

        Seringkali mereka berkritik tanpa memikirkan rangkaian kata-kata dan tak jarang perkataannya tersebut bisa saja menyakiti dan menganggu mental anggota keluarga lainnya.

    Ciri Kedua, jarang mengapresiasi dan tidak menghargai privasi.

        Apresiasi sangat penting dalam membangun komunikasi antar keluarga. Karena dalam memberikan apresiasi kepada anak ataupun anggota keluarga yang lainnya membuat mereka merasa dihargai segala usaha yang dilakukan dan diakui keberadaannya. 

        Akan tetapi, didalam keluarga yang toxic, apresiasi tidak berlaku. Sebaik apapun usaha yang kita lakukan, tidak ada anggota atau bahkan orangtua sendiri yang memberikan apresiasi dan ujian.

    Ciri Ketiga, terlalu mengatur dan manipulatif.

        Sejatinya setiap orang memiliki hak untuk memilih jalan hidupnya dan itu berlaku juga pada anak. Anak berhak memilih apa yang ia inginkan. Seperti dalam memilih sekolah, pendidikan, karena yang faham dan mengerti tentang passion seseorang adalah dirinya sendiri.

        Ada sebuah cerita, ada satu keluarga dimana keluarga semua keturunan pengajar. Dari nenek, anak hingga cucu. Sampai suatu ketika, ada cucu yang ingin mengeksplore dirinya karena ia merasa mengajar adalah bukan passionnya, akan tetapi hal itu ditentang besar-besaran oleh keluarga dengan dalih bahwa keluarganya memang sudah ditakdirkan menjadi keturunan pengajar sehingga ia harus mengikuti jejak keluarganya.

        Peoples, hal seperti ini sudah bisa dibilang Family Toxic karena terlalu diatur tentang kehidupannya dan itu menyebabkan hilangnya batas-batas privasi dan memperlambat perkembangannya karena tidak diizinkan untuk mengeksplore kemampuannya.

    Ciri Keempat, narsistik dan tidak mau mendengarkan oranglain.

        Bagi kalian yang belum tau narsistik itu apa sih? Yuk kita denger penjelasannya yak,

        Narsistik itu kondisi gangguan kepribadian dimana seseorang akan mengganggap dirinya lebih penting dari oranglain dan harus di kagumi. Narsistik bisa juga menjadi ciri kepribadian lohhh. Hayoo kira-kira ada ga dalam diri kalian?

        Nah, biasanya orangtua cenderung menjadi narsistik, peoples. Ini ditunjukkan dengan keenggenan mendengar pendapat dari orang lain atau bahkan dari anggota keluarga sendiri. Biasanya nih, orang yang memiliki sikap narsistik akan lebih banyak menyalahkan orang lain kalau kondisi tidak bisa sesuai dengan keinginannya.

    Ciri Kelima, membuat anggota keluarga merasa tidak nyaman.

        Kurangnya kasih sayang dan rasa kepercayaan diri mengakibatkan terganggunya kehidupan sosial dan merugikan diri sendiri. 

        Pasti dari kalian pernah mengalami hal yang sangat tidak nyaman di lingkungan keluarga, seperti pengalaman di remehkan, di rendahkan bahkan sampai tidak mendapatkan dukungan dari hal yang kalian lakukan. 

        Yap! Hal itu sangat membuat kita tidak nyaman. Hingga akhirnya tanpa kita sadari tertanam dalam diri kita rasa takut yang besar dan keraguan saat harus mengambil keputusan apapun dalam hidupnya. Karena korban takut direndahkan, diremehkan bahkan tidak di support.

    Ciri Keenam, adanya kekerasan fisik ataupun verbal.

           Disaat orangtua atau anggota keluarga lainnya melakukan kelima hal diatas, tidak menghargai keputusan anak, terlalu mengatur, tidak mau mendengarkan pendapat anak bahkan terlalu sering mengkritik dan menyalahkan anak. Tidak menutup kemungkinan akan terjadinya kekerasan fisik ataupun verbal di lingkungan keluarganya.

            Betul sekalih! Bisa jadi jika anak tidak sejalan dengan kemauan orangtua dan ia tidak mau menuruti apa yang diinginkan orangtuanya. Tak segan orangtua tersebut menyumpah serapahi anak tersebut bahkan sampai tega hati memukul atau tindakan kekerasan fisik lainnya.

              Seseorang yang sudah hidup pada lingkungan keluarga yang toxic, sadar ataupun tidak ia akan berpontensi untuk mengulang pola hubungan yang sama pada orang lain ketika ia dewasa ataupun sudah menjalin rumah tangga. Hal seperti ini dikarenakan sudah tertanam dalam alam bawah sadarnya dan sudah teresap dalam kebiasaan hidupnya.


    So, kalian harus bisa deteksi sejak dini apakah keluarga kalian termasuk kedalam keluarga yang toxic???


       Ada beberapa faktor yang menyebabkan keluarga menjadi toxic, selain dari mengulang pola hubungan di masalalunya. Ditemukan dalam sebuah studi yang dimuat dalam Journal of Family Medicine and Disease Prevention, ada 8 faktor nih, diantaranya :

            1. Orangtua yang abusive, otoriter, terlalu memanjakan anak, menderita gangguan kepribadian dan kecanduan obat-obatan terlarang.

            2. Adanya campur tangan dari keluarga besar

            3. Anak yang memiliki penyakit kronis atau penyandang disabilitas

            4. Peristiwa hidup yang tidak menyenangkan seperti divorce (perceraian)

            5. Nilai keluarga, etnis dan budaya

            6. Insecure Attachment

            7. Keluarga disfungsional dari keluarga sebelumnya

            8. Stabilitas dan/atau instabilitas sistematis

    Kondisi seperti ini harus segera diatasi. Kenapa? Karena nanti akan banyak pihak yang dirugikan. Dari segi anak, ia akan mengalami trauma yang cukup dalam sehingga bisa merusak mental dan perilakunya. Dari segi keluarga, bisa merusak keharmonisan antar keluarga, pasangan bisa menjadi stress, depresi, dan pastinya rentan menimbulkan perselisihan dan tidak menutup kemungkinan akan berakhir pada kekerasan dalam rumah tangga.

    Sejatinya, setiap makhluk butuh mendapatkan rasa cinta dan kasih sayang, rasa hormat dan di hargai agar berkembang menjadi pribadi yang lebih baik lagi. 

    Pertanyaannya ialah, apakah bisa orang yang berada dalam toxic family bisa berkembang jadi pribadi yang lebih baik lagi?

    Jawabannya, BISA! Akan tetapi perlu melalui proses coping dan healing yang tepat. Sekarang mari kita simak tipsnya!

            1. Mencoba menerima keadaan

                Teori Radical Acceptance (Linehan, 1993) menjelaskan untuk menerima hidup apa adanya dan tidak menyangkal hal yang tidak bisa diubah. Dalam artian kita harus selalu bersyukur kepada Allah dengan apa yang sudah Allah berikan kepada kita.

                Awalnya memang sangat susah, pasti susah, apalagi kita harus menerima hal yang buruk dan tidak baik untuk kesehatan mental kita. Akan tetapi, akan jauh lebih susah jika kita tidak mau menerima kenyataannya. 

                Tapi teori ini tidak bisa disamaratakan untuk semua individu ya, peoples. Karena mempertimbang dari individual difference. Tapi, tidak ada salahnya jika kita mencoba untuk menerima keadaan dan selalu bersyukur atas anugerah yang telah Allah berikan.

            2. Talk to someone

                 "Untuk mempunyai kesehatan mental yang baik, setiap orang membutuhkan setidaknya satu orang yang dengannya dapat menjadi “transparan” (Jourad, 1964)"

                Betul sekali nih, peoples. Karena memang manusia itu adalah makluk sosial, jadi ia tidak akan bisa hidup sendirian.  Kita pasti butuh berbicara, butuh meluapkan rasa kesal, amarah, keresahan, kegelisahan yang kita alami agar tidak menjadi beban dan melegakan hati. Maka dari itu, kita butuh seseorang yang dapat dipercaya dan bisa memahami keadaan kita hanya untuk sekedar berbagi keluh kesah.

            3. Memaafkan

                Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Dan hendaklah mereka memberi maaf dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nur: 22).

                Allah Maha Pemaaf. So, kita sebagai umatnya pun juga harus berlapang dada untuk memaafkan. Memaafkan disini berarti menerima keadaan apa adanya, bukan malah mengharap outcome yang lebih baik. 

                Tidak ada salahnya kita memaafkan dan memberikan kesempatan kedua kepada keluarga kita. Namun, jika hal itu terulang lagi, tetaplah memaafkan mereka dan kamu mungkin harus berpisah tempat tinggal untuk menenangkan dirimu. Tapi jangan lupa untuk tetap berbakti kepada kedua orangtuamu.

            4. Set Boundaries (Menetapkan Batasan)

                Biasanya hal ini sering banget terjadi di diri kita karena rasa ga enakan kita dan gampang dipengaruhi oleh orang lain. Itu dikarenakan kita tidak bisa menetapkan batasan akan diri kita. Mulai sekarang kita harus bisa menerapkan Set Boundaries terhadap diri kita sendiri!

                1. Kita yang bertanggung jawab atas diri kita, jadi eksistensi hidup kita untuk diri kita bukan orang lain.

                2. Menghargai orang lain tidak harus selalu dengan mengiyakan apa yang mereka minta, apalagi dengan membiarkan mereka mengulik hal-hal pribadi kita. Jaga privasi kamu! Jika ingin cerita, cerita yang sewajarnya.

                3. Kebahagiaan orang lain bukan tanggung jawab kita! Jadi, fikirkan terlebih dahulu kebahagiaan kita karena belum tentu orang lain memikirkan tentang kebahagiaan kamu!

                4. Set Boundaries adalah salah satu self love and self respect before loving and respecting others. Cintai dan hargai diri kita terlebih dahulu, sebelum melakukannya kepada orang lain!

        5. Cari support sistem baru

            "Dalam situasi seperti ini, seseorang sangat membutuhkan dukungan dari orang terdekatnya, baik teman maupun pasangan. Hal ini juga dapat membantu meringankan perasaan penderitaan dan kesepian". (Campbell, 2020) 

            Anak yang tumbuh di lingkungan toxic family cenderung memiliki kecemasan dan ketakutan terhadap orangtuanya. Hal ini dipengaruhi oleh konflik-konflik yang sering terjadi pada toxic family. Konflik yang terjadi biasanya dapat berupa manifestasi dari bentuk-bentuk child maltreatment. Child maltreatment ini terbagi menjadi 4 kualifikasi :

        1. Physical Abuse
        2. Child Neglect
        3. Social Abuse
        4. Emotional Abuse

            Anak yang besar dilingkungan toxic family beserta child maltreatment akan cenderung memiliki regulasi emosi yang rendah, perilaku agresif, kesulitan beradaptasi serta akan memiliki kencenderungan yang lebih tinggi mengalami masalah psikologi seperti depresi.

        Setiap orangtua memiliki perbedaan dalam output pola pengasuhan pada anak. Selain itu, perilaku anak yang tempramental dapat memberi dampak pada orangtua bagaimana ia bertindak pada anaknya.

        Peoples...

        Penulis mau memberikan sedikit tips agar menjadi orangtua yang dirindui oleh anak-anaknya nih ^_^

        1. Tunjukkan kepedulian dan sensitif terhadap keadaan, karena anak akan merasakan ketulusan dari kepedulian orangtuanya dan ia akan nyaman berada didekat orangtuanya.

        2. Memiliki kegiatan rutin dan peraturan dirumah, perbanyak waktu bersama-sama dengan anak sehingga anak merasa bahwa orangtuanya akan selalu ada untuk dirinya. 

        3. Berbagi cerita dan menjadi teman dengar untuk anak, sejatinya anak itu hanya ingin didengar oleh orangtuanya. Ia ingin berbagi keluh dan kesahnya kepada orangtua dan kita sebagai orangtua tidak pernah memperdulikan akan hal itu padahal membangun kepercayaan anak terhadap orangtuanya bisa diawali dari saling berbagi cerita.

        4. Menggunakan kedisiplinan tanpa menggunakan kekerasan, kekerasan bukan solusi dari segalanya. Banyak orangtua jika sudah kehabisan batas sabar tak segan ia melakukan kekerasan dengan berfikir itu solusi dari segalanya. Justru kekerasan awal mula timbulnya permasalahan. Tegas bukan berarti harus dengan kekerasan.

        5. Menempatkan kesehatan dan keselamatan anak sebagai prioritas. Jadi, orangtua harus benar-benar memperhatikan kesehatan anaknya. Bukan hanya kesehatan fisik tapi juga kesehatan psikis. Coba mencari referensi tentang parenting, pola asuh yang baik seperti apa, tentang kesehatan mental anak, sehingga anak benar-benar merasa orangtuanya sangat memprioritaskan mereka.

        6. Jangan pelit untuk mengakui dan memberikan reward pada anak, walau hanya sekedar ucapan "Masya Allah bagus ya", "Wah anak mamah/papah pintar sekali" "Hebat ya anak mamah/papah"  dengan seperti itu anak merasa bahwa orangtuanya bangga terhadap apa yang telah ia lakukan dan secara tidak langsung anak merasa diakui oleh kedua orangtuanya.




DAFTAR PUSTAKA

    https://lm.psikologi.ugm.ac.id/2020/12/fun-fact-toxic-family/

    https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=249900857

    https://www.kompasiana.com/anisa72261/5efc54bc097f360a452a2693/setting-boundaries-ketika-batasan-pribadi-dijajah-orang-lain

    https://www.halodoc.com/kesehatan/gangguan-kepribadian-narsistik

    



Komentar

Postingan Populer